Wednesday 26 June 2013

Welcoming The New Boys to The Shrine

It's been a while since my last post about football thingy. This time I want to congratulate some new signings.

Youngsters, I may say, as their ages are particularly young. I begin to think that LFC is the new Arsenal, no? 

The first one, Kolo Toure. Came to LFC with free transfer from Manchester City after his contract expired on June 30, 2013. A replacement for Jamie Carragher? We'll see...

The second signing, Luis Alberto Romero. He's only 20 and brought from Sevilla for 6.8 mio pounds. I was thinking that THIS Luis might replace THAT Luis but I quickly put myself in a grip... in a big big hope it's not gonna happen. Amen.

I don't understand about this double home kit in one photo. I just don't understand.
But I have my favorite here, Luis with Indonesian flag. So, I'll see you later Luis. :)

Next is Iago Aspas Juncal. A 25 y.o striker from Celta Vigo and worth 7 mio pounds. This bad boy-like player is probably gonna threat the opponent team as I myself can see it through his facial expression. Haha. Sorry, Iago.
My club already got one bad boy and added this bad boy-like so practically there will be double Luis in the front line. Interesting. Hope they can get along very quick, well at least they share the same mother tongue.

The third signing, is a goalkeeper. As Gulacsi moved, only two goalies left. Meet Simon Mignolet, a 24 y.o Belgian goalie. Previously played for Sunderland. He's worth 11 mio pounds (more or less). He was pretty fine with The Black Cats, several clean sheets. I do really think that LFC need a young goalie and when they got him, well, pleasant.
I'm not a pundit or sth like that so I'm not gonna act like miss know-it-all, just like the title up there, I only greet these newcomers. Welcome to the home of football, the Shrine, Anfield.


YNWA.

Wednesday 5 June 2013

Anak-anak, Ibu Rindu...

Tiba-tiba saja aku teringat celoteh Yco David,

"Ibu, look! Look, Ibu! I can do this alone. I'm so awesome!"

Anak itu... fisiknya kecil, kulit cokelatnya membedakan ia dengan saudara-saudara yang separuh Belanda, tapi kecerdasannya cukup besar untuk mengalahkan mereka. 


Kakaknya, Aaron, tampan dan fisiknya besar. Jago olahraga dan matematika namun lemah dalam bahasa. Si kecil Jesse, 4 tahun, menganggapku teman mainnya dan selalu memanggilku "Kamu," bukan "Ibu" seperti kedua kakaknya. Ah... iya. Tara. Bagaimana mungkin aku lupa si bayi mungil bermata bulat itu. Entah apa yang membuatnya selalu bergelayut manja saat aku tiba. "Anyiiiiiiih!" sekuat tenaga ia memanggil namaku dan berlari... hap! Aku menangkapmu, Tara! :)

Keluarga David menjadi bagian dari hari-hariku sejak 2 tahun lalu. Aku adalah guru home schooling bagi putra putri Meneer Raymond dan Ibu Endang. 4 anak sekaligus. Kekacauan kerap kali terjadi di rumah besar bernuansa eklektik itu. Aaron ingin didahulukan. Yco tak mau dinomorduakan. Jesse capek ketika membuka buku PR. Dan Tara... Tara ingin ikut semua pelajaran yang kakak-kakaknya ikuti. Chaos. :)

Keadaan 180° di rumah keluarga Revuelta. Lily Dhevi Revuelta, si cantik muridku yang lain. Putri kesayangan Monsieur Hugues Revuelta dan Ibu Sita. Lily tak punya saudara perempuan. Setiap aku datang, ia senang sekali. Selalu ingin cepat menyelesaikan pelajaran karena hendak menghabiskan waktu yang tersisa dengan menonton DVD bersamaku.

"I wish you could stay longer every time you come here..." ujarnya setengah memohon.


Anak-anak. Makhluk-makhluk kecil itu telah menjadi ciptaan Tuhan favoritku selama bertahun-tahun.
Perjalananku memberikan bantuan ke desa-desa pasca gempa Yogyakarta beberapa tahun yang lalu tak akan kulupakan begitu saja. Itulah awal dimana aku menemukan passionku, alter-egoku. Aku, seorang guru.
Masih kuingat betapa sulitnya menahan cucuran air mata saat pertama bertemu anak-anak yang mencari buku-buku pelajaran mereka diantara reruntuhan tembok rumah. Hal yang dapat membahayakan jiwa mereka.
"Belum ngerjakan PR, nanti Bu Guru marah."
"Kertas ulangan saya yang dapat nilai 10 ada di dalam rumah!"
"Buku tulis saya masih baru... itu hadiah dari Bapak."
Sungguh, besar sekali keinginan mereka untuk kembali bersekolah. Mengabaikan keselamatan demi mendapatkan kembali 'harta' mereka. Saat itu juga aku kembali ke mobil. Aku masuk, mengunci pintu dan menangis. Aku tak ingin terlihat sedih di depan mereka yang jagoan itu. "Tenang, Rani, tenang... pikirkan bagaimana cara membantu mereka..."
Kuseka air mataku kemudian berlari menghampiri mereka.

"Kalian mau belajar lagi?" tanyaku kepada salah satu dari mereka

"Ya mau, Mbak. Tapi kan sekolah ambruk."

"Tapi kalian mau kan belajar lagi? Dua hari lagi Mbak datang ya, kita belajar!" ucapku ke mereka.

"Belajar di kemah (tenda) ya gak apa-apa kok Mbak! Tapi gak punya pensil..."

"Nanti Mbak bawakan. Buku tulis, pensil, penghapus, penggaris, apa lagi?"

"Jajan, Mbaaak!" celoteh mereka serempak.

Sinau. Sejak saat itu Sinau menjadi sekolah berjalan mereka. Aku dan kedua teman yang kuajak bersama-sama mengajar anak-anak bersemangat itu. Satu dusun, dua dusun, tiga, begitu seterusnya. Hingga saat aku mengambil Kuliah Kerja Nyata, aku pun memilih seksi pendidikan dasar. Seperti cawan kosong, aku merasa penuh setelahnya. Aku menyukai hal ini. Anak-anak, mengajar, ini menyenangkan!

Aku masih merasa, mengajar, menjadi seorang guru adalah alter-egoku yang terbaik. Selepas memperoleh gelar Sarjana Sastra, aku menjadi guru di sebuah sekolah berkurikulum internasional di luar kota Yogyakarta. Petualangan baru yang tak kalah menyenangkan.

Wajahku yang tergolong antagonis menurut orang kebanyakan, ternyata tidak demikian dengan anak-anak di kelas Austria. Mereka dengan cepat akrab denganku. Aku sendiri heran. Kok bisa ya? :D

Aku rindu anak-anakku...

Aku rindu suara tawa dan tangis mereka.

Aku rindu tangan-tangan kecil yang berusaha menggapaiku hanya untuk sekedar meminta pelukan.
Aku rindu mulut mungil mereka memanggilku, "Ibu..." sebuah panggilan yang mulia.
Aku rindu perasaan dibuat kesal dan geram karena mereka merajuk.

Anak-anak, Ibu rindu...
:'(