Mungkin kalau malam itu saya nggak minum kopi, saya nggak akan tahu apa itu Liverpool FC.
Mungkin kalau malam itu saya nggak menyalakan TV, saya nggak akan tahu Liverpool FC itu sebuah klub sepakbola hebat. Mungkin kalau malam itu saya nggak menonton pertandingan Liverpool FC sampai selesai, saya nggak akan pernah jatuh cinta pada Michael Owen. Tapi... semua itu sudah terjadi dan saya tidak menyesalinya.
Untuk usia anak SD, minum kopi dalam rangka belajar sepertinya sangat aneh. Tapi bodo amat lah, materi yang harus saya pelajari untuk ulangan sangat banyak banget sekali. Saya pun mengkonsumsinya secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Papa. Papa termasuk ayah yang keras terhadap substance apapun yang dikonsumsi oleh anak-anaknya terutama perempuan. Saya ingat sekali waktu itu hanya kopi susu instan hangat seukuran gelas belimbing. Kopi susu yang hanya seukuran gelas belimbing itulah yang merubah garis jodoh saya (agak berlebihan memang, hehehe).
Anak perempuan berumur 9 hampir 10 tahun yang tidak bisa tidur gara-gara segelas kopi susu instan itu lalu mengambil remot TV dan menyalakan tombol ON. Oh, rupanya sedang ada pertandingan sepakbola. Memang sih waktu menunjukkan pukul 10 malam, sepertinya pertandingan sepakbola selalu tayang malam hari, begitu pikirnya. Tidak biasanya, mata tertuju pada layar dan mulut diam tidak berkomentar. Seperti tersihir dengan apa yang baru saja dilihat selama 5 menit.
Kata pertama yang saya ucapkan waktu itu hanya, "Waaah..." ketika melihat pemain muda, tampan, dengan gesitnya mencetak gol. Saya mendekatkan wajah ke layar TV -hal yang sangat dilarang oleh Papa, hahaha- untuk melihat nomor punggung dan namanya. Owen. Owen. Owen. Sampai pertandingan memasuki paruh waktu, saya hanya ingat 2 nama: Owen dan Liverpool. Begitu juga hingga pertandingan berakhir, hanya 2 nama tersebut yang saya ingat. Owen. Liverpool.
Esok paginya, seperti biasa saya berangkat ke sekolah naik sepeda federal kesayangan. Setelah parkir sepeda, saya masuk kelas untuk menaruh tas dan langsung keluar ke lapangan upacara untuk bergabung dengan teman-teman yang sedang bermain sepakbola. Teman laki-laki, sudah pasti. Mereka memang biasa bermain sepakbola dulu sebelum masuk kelas. Entah apa maksudnya masuk kelas dengan badan berkeringat lalu kipas-kipas pakai buku tulis. Mungkin itu alasannya kenapa buku-buku tulis mereka sampulnya cepat rusak dan kumal. Dasar.
Kira-kira 10 menit sebelum bel masuk kelas, mereka sudah selesai bermain dan duduk-duduk sambil kipas-kipas tentunya, menunggu Ibu Guru datang.
Saya pun nyeletuk, "Man, semalam aku lihat bola. Klubnya keren banget. Apalagi pemainnya yang nomer 10..."
Hilman, teman saya yang suka sepakbola lalu bertanya, "Nonton apa? Liga Inggris apa Italia?" sambil memastikan siapa nomor 10 yang saya maksud."
"Liga Inggris. Liverpool namanya. Nomer 10nya Owen."
Merasa kurang familiar dengan Liga Inggris, lalu Hilman agak setengah berteriak memanggil teman saya satu lagi, Andika. *ehem* Usut punya usut rupanya dia ngefans berat sama Alan Shearernya Newcastle United. Saya baru tahu karena memang sejak jadi murid baru di SD ini saya jarang ngobrol dengan dia, yang notabene adalah teman TK saya juga. Hahaha, puppy love issue (loh kok malah curhat?). Tiba-tiba Bu Wid masuk kelas dan saya nggak jadi ngobrol juga tuh sama dia. Hahahaha...
Pulang sekolah saya nggak langsung pulang, seperti biasa namanya juga anak SD, nongkrong dulu sama teman-teman sampai sekolah sepi. Saya nggak langsung ke parkiran sepeda tapi jalan dulu ke trotoar depan sekolah untuk mencari Owen. Di trotoar depan sekolah ada Bapak-bapak penjual aneka macam poster, kartu bergambar, stiker, dll. Pucuk dicinta ulam tiba, poster berwarna ukuran kertas manila (pasti tahu kan kertas manila yang kondyaaang di pelajaran prakarya? hahaha) dengan foto Owen sedang lari terletak di susunan paling atas. Setengah berlari saya menuju ke Bapak tersebut lalu 'mengamankannya' sambil melihat-lihat lagi apakah masih ada poster serupa. Saya dapat Owen dan tim Liverpool 1996/1997. Poster pertama saya. Sambil bayar, saya pesan ke si Bapak supaya 'mengamankan' aneka poster yang berbau Liverpool dan Owen buat saya. And we made a deal. :D
Sejak saat itu saya rajin nonton Liga Inggris. Karena saya tinggal di kota kecil dan akses informasi masih terbatas, untuk menambah pengetahuan saya tentang klub hebat ini saya mengandalkan koran olahraga yang saya beli seminggu sekali di tukang koran langganan. Lumayan juga kalau pas ada bonus poster. Saya gunting dan kumpulkan artikel-artikel jadi kliping (jaman SD punya kliping sudah keren banget tuh, apalagi dihias-hias. Hahaha.) Satu hal yang sampai sekarang bikin saya senyum-senyum bodoh sendiri kalau ingat, setiap pertandingan Liverpool yang tayang diatas jam 10 selalu saya tonton tanpa suara alias mengaktifkan fitur Mute di TV. Namanya juga anak SD, perempuan lagi, jam tidur maksimal itu ya jam 9 malam. Selebihnya... dilarang keras.
Selepas SD, saya pindah ke Jogja dan jarang sekali menemukan teman baik laki-laki dan perempuan yang menyukai sepakbola. Saya juga nggak mau sok maskulin dengan curcol kalau saya suka sepakbola. Ada seorang teman perempuan yang suka sepakbola, dia tomboy sekali, namanya Gustin. Gustin suka Juventus dan Filippo Inzaghi. Saya juga nyimak kok liga lain selain Liga Inggris. Saya juga tahu klub-klubnya, dan menyukai Pippo secara personal. Berhubung ngobrol dengan Gustin cuma nyambung kalau yang berbau Pippo aja, jadilah saya ngobrolin dia juga. Tapi tetap mendukung Liverpool FC. Btw, pacar pertama saya di SMP juga suka sepakbola dan Christina Aguilera. Hahahaha. Dia suka Shevchenko dan minta dipanggil Sheva oleh teman-temannya. Malah curhat lagi kan...
Lulus SMP ya lalu masuk SMA dong... di SMA saya nggak menemukan siapa-siapa yang suka sepakbola. Cuma sering lihat teman-teman dan beberapa senior yang lumayan akrab dengan saya main sepakbola aja, kalo ngobrol nggak pernah soal sepakbola. Jadilah saya suporter layar kaca sampai lulus SMA.
Lulus dari SMA saya masuk Universitas Sanata Dharma. Lagi-lagi nggak ketemu teman yang sealiran. Waktu itu yang lagi ngetren olahraga skateboard. Bisa dapet pacar juga gara-gara obrolan soal Reno Pratama. Zzzzzzzz lagi-lagi curhat nggak penting. Di masa awal kuliah ini saya nggak bersemangat juga sih sebenarnya karena efek kepergian Owen (nggak usah saya bahas aja ya, sakitnya masih terasa. Cieh. Dalem.) Owen pergi ternyata nggak bikin LFC beda kok. Malah setahun setelah kepergian dia jadi salah satu momen yang nggak bisa saya lupain. Mungkin buat Kopites sejagat raya juga yah... Final UCL 2005. Nah... pas final UCL di Istanbul itu saya ingat banget besok paginya ada final test. Saya nggak belajar sama sekali. Bodo amat ah kalau nilainya jelek bisa diulang, final UCL mana bisa diulang??? Jadilah malam itu saya singkirin semua text book yang berhubungan dengan final test. Doa yang saya panjatkan juga bukan kelancaran final test melainkan kemenangan LFC. Mahasiswa suram.
Ketinggalan 3-0 sempat bikin saya stres berat sampai minum air putih bertermos-termos (saya memang boros sama air putih, makanya di kamar selalu sedia air putih bertermos-termos). Belum lagi ngeladenin SMS dari teman yang seorang Milanisti. Rasanya pengen banting HP aja tiap baca SMS dia yang datang 10 menit sekali itu. Saya nggak gubris sampai akhirnya LFC bisa menyusul dengan gol yang ke-2. Psywar.
Skor FT 3-3 itu antara percaya nggak percaya. Jadi bulan-bulanan dan diremehkan sejak sebelum final dimulai itu udah perasaan nggak enak banget. Mungkin memang sudah takdirnya kalau suporter LFC itu sabar dan tawakkal. Ahahahahaha. Tapi ini LFC. Bukan tim instan. Saya langsung berubah perspektif tentang nasib dan takdir hanya karena malam yang unbelievable ini.
Adu penalti. Demi rumput stadion dan jaring gawang, saya nggak pernah suka sama yang namanya adu penalti. Seandainya ada jantung cadangan, mungkin saya sudah ganti sampai 7 kali selama final. Mulut saya terus komat kamit ngucap segala macam bacaan dzikir sambil buka tutup mata dan mengelus dada tiap kali melihat Dudek menari-nari. In the end... LFC menang. Saya kegirangan, loncat secara spontan dari kasur dengan posisi kedua lutut mendarat di lantai semacam selebrasi gol. ADUH. SAKIT BANGET. Tapi saya nggak perduli. Saya bahagia sekali sampai hampir menangis. Eh, tunggu, sepertinya memang saya menangis waktu itu. Nggak ingat, tapi sudahlah, LFC menang. Juara Eropa. LIMA KALI.
Hal berikutnya yang saya lakukan adalah membalas SMS teman saya si Milanisti itu.
"IN YOUR FACE, MILAN. IN YOUR FACE. IN YOUR FACE. IN YOUR FACE. HERE'S ONE MORE CAUSE WE WON IT FIVE TIMES, IN YOUR FACE MILAN..."
Puaaas banget rasanya hahahaha. Soalnya selama pertandingan berlangsung saya nggak nanggapin SMS dia yang serba melecehkan itu sih. Second strike itu selalu lebih berbahaya. :D
Paginya saya agak telat masuk kelas karena bangun kesiangan. Nggak apa deh, yang penting happy. Sedikit nggak happy karena kurang maksimal waktu jawab final test karena hampir tiap 5 menit menguap terus. Hehehe.
Saya masih menjadi Kopite yang independen dan suporter layar kaca. Kepikiran untuk ke Anfield itu selalu ada. Cuma saya nggak tahu cara termudahnya gimana. Beberapa tahun kemudian saya mulai denger-denger tuh yang namanya BIGREDS, cuma belum tertarik aja untuk gabung. Saya pikir pasti isinya laki-laki semua. Jadilah pikiran selewat tentang supporters club satu itu ya cuma selewat aja.
Sampai saat saya kuliah lagi untuk yang ke-2 kalinya (ceritanya kan saya ini orangnya penasaran banget sama ilmu pengetahuan), saya mulai cari-cari tahu lagi soal BIGREDS. Iseng yang pertama, saya datang ke markas regional Jogja untuk nonton bareng. Oke, kesan pertama baik-baik saja. Saya juga menemukan beberapa perempuan duduk di sofa baris terdepan. Saya ingat waktu itu saya ngajak teman perempuan saya dan saat itulah dia mengetahui kalau sebenarnya saya ini supporter LFC setengah mati. Oh iya, ceritanya kan ada pemain asal Portugal baru datang kan ya waktu itu, saya lumayan naksir berat sama dia. Badboy yang lincah main bola itu some kind of WOWness. Yes you, Raul Meireles. I'm talking about you.
MC nonbar BIGREDS Jogja waktu itu nyuruh saya ke depan, semacam perkenalan, sejak kapan suka LFC, siapa pemain favoritnya. Saya jawab untuk saat ini ya Raul Meireles. Entah deh kenapa spontan jawab dia. Kata hati kali ya... (lagi-lagi curhat) jadilah malam itu Bang Raul (ciyeee panggilan sayang) mencetak gol dan 1 assist. Happy dong saya...
Nonbar yang kedua (masih belum kepikiran untuk gabung juga, ahahaha) saya ngajak pacar saya yang SAMA SEKALI NGGAK PAHAM DAN NGGAK SUKA SEPAKBOLA BESERTA KERIUHANNYA. Atas nama cinta, saya berhasil membuat dia berdiri dengan tenangnya disamping saya (iya berdiri, nggak kenal siapapun dan bukan member, berdiri aja deh) sambil pura-pura menyimak jalannya pertandingan. Punya pacar model begini ini antara bersyukur dan tidak. Bersyukur karena dia bukan fans dari klub bola manapun, tidak bersyukur karena belum tentu dia mau nemenin saya nonton bareng meskipun alasannya sarang laki-laki. Zzzzzzzzz.
Saya sih pelan-pelan membuka diri tentang apa yang jadi kesukaan saya ke pacar. Nggak ujug-ujug semua dibuka di depan. Mana seru? nggak ada unsur penasarannya sama sekali. Sampai akhirnya dia tahu bahwa saya ini setengah gila dan setengah mati cintanya sama LFC. Singkat kata, saya gabung BIGREDS dan sampai sekarang saya nyesel, KENAPA NGGAK DARI DULU AJA SAYA DAFTAR JADI MEMBER???
Oke skip tentang kegilaan para member BIGREDS. Daripada ribet nyebut merk nanti bisa disomasi saya hahaha... yang jelas BIGREDS Jogja itu GILA dan saya suka. Udah gitu aja. :))
Best moment so far selama saya jadi supporter LFC adalah Asia Tour 2011 lalu di Kuala Lumpur, Malaysia. I had some kind of mystical experience there. Almost cried when I heard YNWA in the stadium. Almost fainted when Raul Meireles noticed me. The moment that changed everything. Ha!
Saya seneeeng banget bisa jadi diri saya sendiri bareng keluarga merah saya yang baru ini. Ngechant dengan full power and volume di gerbong kereta menuju Bukit Jalil yang penuh sesak dengan fans dan supporter LFC, hanya kami berlima saja! Luar biasa rasanya bisa kesurupan seperti itu. Hahahahaha. Banyak diantara mereka yang merekam aksi gila kami pakai ponsel dan kamera, entah apakah ada yang mengunggahnya ke Youtube. Kalau ada, saya juga mau videonya. Hahahaha.
Saya mau ngomong apa lagi ya? Kalau diteruskan ngomong soal 'cinta' saya satu ini nggak akan selesai. Nggak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata juga (ngga mutu banget penjelasannya). Ngomongin cinta nggak perlu berpuitis romantis ala-ala Shakespeare, karena memang saya nggak bisa tuh yang begitu itu. Saya lebih suka aksi. For actions speak louder than words. :)
Ini cinta saya, bukan cinta orang lain. Saya nggak mau membuat cinta saya terihat rumit dengan tata bahasa yang penuh dengan kiasan dan istilah jurnalisme yang wahid. Cinta ini mungkin hanya bisa dimengerti oleh saya sendiri dan sebagian dari anda yang merasakan hal serupa terhadap LFC. Saya menikmati kesederhanaan cinta yang dalam ini. Saya adalah bagian dari sebuah klub sepakbola terhebat di dunia. Saya adalah LFC. Dan saya bangga untuk mengakuinya. YNWA.
and oh,
P.S.: dear whoever might be my husband in the future, I will never stop loving this club. Never.
I love you, Liverpool.